Banyak pemuda
yang terdidik dinegri ini, banyak pula guru yang berilmu dan berkompeten
dibidangnya, tapi tidak sedikit dari mereka yang menjadi seorang guru karena
tuntutan kehidupan profesi, jadi ketika menjalani sebuah profesi sebagai
seorang guru, mereka tidak menjalankannya sebagai suatu profesi yang beretika
namun hanya sebagai sebuah profesi sumber pencaharian semata, dan tidak sedikti
pula siswa yang belajar hanya dengan orientasi Nilai semata, jadi ketika mereka
sekolah mereka hanya mementingkan bagaimana caranya untuk mendapatkan sebuah
nilai yang terbaik tanpa memikirkan apakah dia memahami atau tidak ilmu yang
didapatnya disekolah.
Fenomena sehari-hari yang lazim kita lihat, Saat kita menengok ke dalam
sekolah-sekolah, anak-anak akan berlomba-lomba mendapatkan nilai tertinggi.
Namun, apakah ketika mereka mendapatkan nilai tertinggi di kelas itu dapat
menjamin dirinya menguasai materi sesuai yang diharapkan? Praktiknya, kita sering
menemukan tindakan siswa yang hanya berlomba meraih nilai tertinggi dengan
menerapkan segala cara agar dapat lulus dalam semester atau ulangan bahkan UN.
Sehingga, ilmu tak menjadi hal yang sangat diperhatikan yang penting memiliki
nilai tinggi dan dapat diatas batas kelulusan. Dan, apakah Indonesia akan
melahirkan anak-anak yang intelektual jika hanya bersaing nilai tanpa bersaing
dalam ilmu yang sebenarnya?. Kita harus melakukan perubahan, berubah menjadi
menusia-manusia cerdas yang mampu bersaing dalam dunia internasional, yang
bukan hanya sebagian orang, tetapi seluruhnya. Sudah terlalu lama kita
mereduksi manusia menjadi sekadar angka-angka statistik saja sehingga membuat
penulis berpendapat bahwa pendidikan kita yang selama ini berorientasi pada
nilai atau angka-angka itu salah, pelajar dididik agar belajar demi satu ijazah
merupakan kesalahan yang sangat fatal dan harus diubah demi kemajuan pendidikan
Indonesia.
Atau kita
jua sering melihat sebuah fenomena, seorang guru memberikan jawaban atas soal
UN dan membagikannya kepada siswa, dengan alasan mereka takut siswa it tidak
lulus dan nama sekolah mereka akan jatuh, atau fenomena seorang guru yan labi
yang sering memberikan nilai tidak berdasarkan sebuah keobjektifan namun lebih
kepada satu hal yang subjektif, atau dengan kata lain siswa tinggal menunggu
durian runtuh, dalam hal ini seorang siswa yang rajin mendapatkan nilai yang
lebih rendah dari siswa yang malas, dan siswa yang tidak mencontek mendapatkan
nilai yang lebih rendah pula dari siswa yang mencontek. Dan hal ini adalah
sebuah fenomena yang sering kita rasakan sehari-hari, jadi ada sebuah jargon
ketika dalam sebuah dunia kemahasiswaan
bahwa “mahasiswa boleh salah tapi tidak boleh bohong” dan “guru boleh
salah tapi tidak boleh kalah’ ini yang membedakan prinsip profesional dan non
profesional.
Atau kita
juga sering merasakan seorang dosen yang takut pada absen ketua kelasnya,
karenadia jarang masuk, dan beliaulebih mementingkan absensi dibanding ilmu
yang akan dipahami oleh siswanya, bagaiman itu dikatakan seorang pendidik?
Pemahaman tentang teori dan
analisanya
Pendidikkan
merupakan suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan, seperti dalam sebuah
teori modernisasi, dikatakan bahwa untuk membentuk suatu masyarakat menuju
kehidupan yang madani dan berada pada tahap modernisasi dan ikut berpartisipasi
dalam arus globalisai dalah dengan adanya manusia kreatif yang menjadi pondasi
dasar sebuah bangsa dan negara. Pendidikkan bersal dari kata paid dan agagos
yang artinya ilmu untuk bagaimana mengajar atau membina seorang anak. Dari
definisi ini seharusnya telah tergambar bahwa pendidikkan itu adalah sebuah
prose yang mengajarkan dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak faham menjadi
faham, dari tidak berbudi menjadi berbudi.
Setiap masyarakat mengalami perubahan
sepanjang masa. Perubahan itu ada yang samar, ada yang mencolok, ada yang
lambat, ada yang cepat, ada yang sebagian atau terbatas (Plural), dan ada yang
menyeluruh. Perubahan dapat berupa pergeseran nilai sosial, perilaku, susunan
organisasi, lembaga sosial, stratifikasi sosial, kekuasaan dan wewenang dan sebagainya.
Semua perubahan itu ada yang maju (progress)
dan ada yang mundur (regress)
dan semuanya memerlukan sebuah pondasi dasar komponen pembentuk. Pondasi dasar
berdirinya sebuah negara dengan tuntutan adanya masyarakat madani yang telah di
idam-idamkan oleh setiap bangsa adalah bangsa tersebut harus memiliki
manusia-manusia yang memiliki pemikiran cerdas dan tidak kaku dalam menghadapi arus globalisasi, bangsa yang
dapat berkembang dengan baik dan memiliki perekonomian dan tekhnologi serta
sains yang maju tidak pernah terlepas dari adanya sistem yang berjalan seimbang
dan selaras dengan kemajuan pendidikan di suatu negara tersebut.
Seorang guru yang dalam bahasa
lampau diartikan digugu dan ditiru, seharusnya lebih memberi contoh terbaik
dengan lebih adil dan bijak dalam menentukan arus pengajaran, walaupun semuanya
tidak mutlak seorang guru yang dipersalahkan, karena ini adalah sebuah program
pemerintah yang tidak tepat dalam pelaksanaannya. Guru kencing berdiri murid
kencing berlari, ini pepatah yang sesuai dengan fenomena ini.
Guru bukanlah sebuah profesi yang
hanya menjadikan Uang sebagai imbalannya, namun ada etika moral yang harus
diterapkan, bukan sebuah penerapan hedonisme namun lebih kepada suatu panggilan
jiwa bagi yang melaksanakannya ada sebuah rasa tanggung jawab dan beban yang
besar yang harus dipikul oleh seorang guru, bagaiman profesi seorang guru itu
sangat dihormati, diabndingkan profesi lainnya, ketika di rumah atau diluar
sekolahpun seorang guru akan tetap dipanggil bapak, berbeda dengan pejabat atau
rofesi lainnya yang akan menghilangkan makna bapaknya untuk menghormati, ini
membuktikan bahwa profesi guru itu adalah profesi yang sangat terhormat.
Namun sayang saat ini banyak yang
masuk dalam dunia pendidikkan atau yang mengambil kuliah jurusan FKIP (fakultas
keguruan dan ilmu Pendidikkan ) bukan berdasarkan hati nuraninya namun lebih
kepada pertimbangan materi dikemudian hari bagaiman jurusan Guru adalah profesi
yang menjanjikan dan akan mudah untuk bekerja dan menjadi PNS (pegawai nunggu
Sore) dan ini yang menjadi awal mengapa banyak guru yang kurang berkualitas di
negara ini. Mengacu pada sejarah pendidikkan Indonesia, bagaimana Kihajar
Dewantara mendirikan taman siswa dengan memiliki kerelaan dan keiklasan sepenuh
hati denan pengorbanannya dia rela melepaskan gelar ningratnya dan menjadi
rakyat biasa untuk mengabdikan dirinya sebagai seorang pendidik, itu dalah
sebuah contoh yang sangat nyata, bagaimana kualitas seorang pendidik yang
dibandingkan dengan zaman sekarang berbanding terbalik walaupun ini dipandang
dari sebuah sudut konstruktivistis bukan sebagai positivisme yang
menggeneralkan, namun tidak sedikit guru yang seperti ini.
Ini adalah sebuah penyakit bangsa
ini, ketika matrealisme menjadi sebuah tujan utama maka hasil yang diperolehpun
akan sama, siswa yang ditetaskan pun akan memiliki naluri yang pemikiran yang
sama, yaitu mereka tidak akan memiliki rasa sebagai seorang siswa namun hanya
sebagai sebuah alasan untuk mendapatkan Ijazah dan nilai yang baik, tanpa
melihat pemahaman yang akan diturnkan dan diaplikasikan dimasyarakat. Artinya
tidak ada proses pendidikkan seperti dalam tridharma perguruan tingi.
analisa
untuk hari ini dan kedepan
meningkatkan sebuah sumber daya pendidik adalah satu hal
yang mungkin, dan menseleksi profesi keguruan dengan cara yang lebih ketat
karena banyak yang lulus dari segi akademik tapi masih banyak pula yang tidak
lulus dari segi etika profesinya.
Mahasiswa
sebagai telur yang menetas dari sebuah universitas seharusnya mampu menjadi
pemeran difusi inovasi dan terus mengembangkan ilmu-ilmu yang dia telah
pelajari, yang memiliki selektivitas tinggi dan daya nalar yang tinggi pula,
dengan rasa pengabdian yang besar tehadap pengembangan tekhnologi bangsa
melalui kebijakan pemerintah yang merata.
Perlu disadari bahwa definisi pembangunan
humanistik yang mulia adalah bahwa pembangunan adalah
perluasan kemampuan dan kreativitas rakyat,
sebagaimana ditegaskan oleh Nobel
Laureate Amartya Sen (Sen, 1999). Pembangunan adalah perihal meningkatkan human capital (Hatta, 1967), yang kemudian secara keseluruhan membentukkan social capital bangsa, bahwa pembangunan haruslah berawal dari human investment agar bisa dengan lebih baik mengelola modal natural resources dan modal
financial sebagai tuntutan riil dan
empirik . Hal inilah yang diperlukan bagi peranan pendidikan dalam
membangun karakter bangsa, bukan karakter bangsa yang imajiner, karena
sumberdaya manusia inilah yang menjadi modal suatu bangsa untuk dapat terus
maju dalam kancah persaingan global. Karakter ini akan membawa kekuatan
menawar, sebagai ciri martabat bangsa yang akan mampu menjadi sisi yang berani
menawar, bukan menjadi bagian yang dilecehkan dan ditawar oleh asing.
jika sejak kecil
kita telah diberikan sistem pendidikkan yang salah atau dengan kata lain mal
education, bagaimana kita akan memiliki mental dan moral yang baik, seorang
guru kadang hanya melihat kemampuan siswa dari sisi akademik saja, tapi
bagaimana dengan siswa yang memiliki kreativitas lain, kadang guru tidak
memberikan penilaian tersebut dalam buku nilainya, sehingga karena merasa tidak
dihargai kreativitas siswa tersebut akan hilang dan ditinggalkan.
Apakah semua
alumnus pendidikkan itu hanya untuk dijadikan seorang pemikir yang hanya faham
deret angka dan teori dengan nilai praktek yang berbanding terbalik?...
Lalu apakah
pemberian perhatian dalam sebuah kelas dengan sistem anak emas itu akan dapat
memberikan teladan yang baik kepada siswa tersebut?..hal ini akan membentuk
mental siswa yang tidak dapat adil dalam bersikap dalam menghadapi masyarakat.
Setelah sampai
pada jenjang perguruan tinggi, kita memiliki tridharma perguruan tinggi yang
bukan hanya rangkaian kata yang dengan mudah semua orang dapat mengucapkan
namun itu adalah sebuah ikrar dan sebuah proses yang harus dihadapi sebagai
seorang mahasiswa,
Pendidikkan
artinya mendidik secara benar dengan pola yang benar dan dengan porsi
pendidikkan yang adil tanpa mengurangi sedikitpun.
Penelitian
artinya memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk belajar menganalisis
sebuah masalah secara mendalam, maalah apa yang seharusnya diteliti?.masalah
yang memilki pengaruh yang cukup berdampak bagi kelangsungan masyarakat, karena
mahasiswa dengan labelnya “agent of change” harus dapat menjadi tulang punggung
pemikir bangsa yang mutiproblem sesuai dengan bidang keilmuannya.
Pengabdian
masyarakat artinya seorang mahasiswa belajar untuk berafiliasi dengan khalayak
luas sebagai bentuk aplikatif dari label “agent of change” tersebut.
Dan jalani semua
proses itu secara tertib, jika mental sejak kecil telah dihancurkan dengan
pedoman orientasi nilai dibanding pemahaman, dan rendahnya penghargaan guru
terhadap keahlian diluar akademik, itu akan membuat mental individu tersebut
lemah dan mudah putus asa.
Pendidikan karakter bangsa harus
dimulai dari pendidikan dalam keluarga, sekolah/ kampus/ pesantren, dan
masyarakat. Pendidikan karakter di lingkungan dan masyarakat sangat penting dan
sangat membantu dan menentukan keberhasilan pendidikan karakter di sekolah/
kampus . Demi terbangunnya sebuah tonggak-tonggak pergerakan yang patuh
akan hukum peduli akan nasib bangsa dan menghargai jiwa nasionalisme, dengan
satu pola pendidikkan yang bernilai keilmuan bukan nilai semata.
Kita adalah manusia terdidik yang pasti punya
sebuah pemikiran dan memahami ideologi, namun sadarkah siapa yang menanamkan
ideologi dan konsep berpikir tersebut ? terus berpikir rasional dan kreatif
tentang fenomena yang ada akan membantu kita untuk terus berproses dan
berkembang.
Selektifitas menjadi seorang PNS terutama
dalam profesi pendidikkan lebih diketatkan agar banyak guru yang memiliki jiwa
moral yang terbaik, dan menjalankan profesi sebagai sebuah panggilan jiwa
seperti Kihajar Dewantara, bukan sebuah profesi matrealisme, dan lulus dalam
jurusan pendidikkan sebagai seorang yang memiliki deret moral sebagai
standarisasinya, bukan hanya akademik karena mendidik dan pendidikkan bukan
hanya akademik tapi juga moral, bukan hanya IQ namun juga EQ, SQ, dan RQ.
bangsa ini gagal karena terlalu result oriented daripada process oriented